Ada legenda tentang Ratu Boko dan Bandung Bondowoso. Dalam satu versi, Ratu Boko adalah raksasa yang tinggal di istana di aula situs ini. Dia adalah raksasa yang suka makan manusia dan Bandung Bondowoso adalah ksatria yang membunuhnya. Hubungan antara Legenda Ratu Boko yang terkenal dan situs Ratu Boko yang asli dipelajari oleh arkeolog Belanda N.J. Krom. Dia mencoba untuk mengetahui apakah ceritanya didasarkan pada kerajaan yang sebenarnya atau tidak. Menurut sebuah laporan yang ditulis oleh Krom, ada tulisan bertuliskan nama Nagari yang digunakan oleh keluarga Sailendra. Prasasti ini ditemukan di dalam situs Ratu Boko ini. Namun, beberapa orang meragukan bahwa pernah ada istana yang berdiri di dataran ini. Dengan kata lain, mereka meragukan kebenaran Legenda Ratu Boko. Salah satu alasan di balik keraguan ini adalah batuan dasar dataran ini yang merupakan batu kapur. Batuan batu kapur sangat berpori, sehingga air tidak bisa bertahan lama disana.

Jika pernah ada kerajaan di sini, tempat ini harus menampung ratusan orang yang tinggal. Pada tahun 1950an, sebelum situs tersebut diduduki oleh Republik Indonesia, orang-orang yang tinggal di sini hanya beberapa keluarga petani. Masalah utama yang dihadapi mereka hanyalah satu: kekurangan air. Meski begitu, ada kemungkinan lain yang masuk akal, yaitu asumsi bahwa lokasi Ratu Boko merupakan bagian dari kompleks istana yang luas. Kegiatan kerajaan dapat dilakukan di dataran rendah, sedangkan dataran di atas digunakan untuk ritual khusus keluarga kerajaan. Mungkin Legenda Ratu Boko tidak salah, hanya legenda saja yang tidak lengkap.

Pengunjung yang datang dari Eropa pada abad ke-19 cenderung menerima apa yang dikatakan legenda bahwa tempat ini adalah istana Raja Boko. Namun, arkeolog profesional yang datang ke tempat ini seperti Brandes pada tahun 1903, Bosch pada tahun 1918, Sutterheim yang datang pada tahun 1926, dan Krom yang datang pada tahun 1931 mendukung gagasan bahwa dataran utama berfungsi sebagai pusat aktivitas keagamaan. Bernet Kempers (1978) menganggap kemungkinan bahwa tempat ini adalah taman istana. Gagasan ini nampaknya lebih masuk akal jika Anda melihat karakteristik taman Jawa yang telah dianalisis oleh Denys Lombard. Dia mencatat bahwa taman kerajaan di Jawa memasukkan fasilitas mandi, kegiatan keagamaan seperti meditasi di gua-gua, dan tembok tinggi yang mungkin telah digunakan untuk benteng, meskipun mereka tidak berniat melakukannya. Tiga wilayah di kompleks Ratu Boko kurang lebih cocok untuk kerajaan, kegiatan keagamaan termasuk meditasi, dan pemandian